Filantropi Wujud Gerakan Reflektif

Oleh: Baharuddin Rohim

“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”. (H.R. Bukhari)

Istilah Filantropi berasal dari bahasa latin, philanthropia, atau bahasa Yunani, Philo dan Anthropos, yang berarti “cinta manusia’. Filantropi Adalah kepedulian seseorang atau sekelmpok orang kepada orang lain berdasarkan kecintaan pada sesame manusia. (Melayani ummat, Hilman Latief). Adapun menurut sifatnya dikenal dua bentuk Filantropi, yaitu Filantropi Tradisional dan Filantropi Modern. Filantropi Tradisional adalah filantropi berbasis Karitas (Charity) atau belas kasihan yang pada umumnya di masyarakat dikenal dengan bentuk pemberian para dermawan kepada kaum miskin untuk membantu kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lainnya. Dengan demikian orientasi Filantropi Tradisional lebih bersifat individual dalam konteks luas (makro) Filantropi Tradisional hanya mampu mengobati penyakit kemiskinan, akibat ketidakadilan struktur. Adapun Filantropi Modern yang lazim disebut Filantropi pembangunan social dan keadilan social dengan kata lain menjembatani antara si kaya dan si miskin dengan orientasi pada perubahan institusional dan sistematik.

Sejarah Filantropi di Indonesia, berawal dari unsur Filantropi Traditional yang bersumber dari agama baik Kristen maupun Islam. Filantropi kegamaan di Indonesia terkait dengan kegiatan misionaris dan dakwah. Kegiatan penyebaran agama dilakukan dengan penyediaan pelayanan social terutama pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan social (panti-panti sosial). Secara normatif filantropi dalam Islam sudah sangat jelas di bahasakan didalam Al-Qur’an dan Al Hadits. Yang setidaknya kita mengenal minimal ada dua tradisi kedermawanan (filantropi) yakni kedermawanan bersifat wajib berbentuk zakat, dan kedeemawanan bersifat tidak wajib (sunnah) seperti melaksnakan infaq, sedekah, dan wakaf.

Terdapat tiga konsep utama mengenai Filantropi Islam di antaranya pertama, kewajiban Agama, moralitas agama, keadilan sosial. Konsep pertama tersebut menjadi panduan umum, konsep kedua berkaitan dengan moralitas sosial, dan konsep terakhir menyentuh inti tujuan dari Filantropi dan Agama itu sendiri, yaitu keadilan sosial. Banyaknya aya-ayat dalam Al-Qur’an tentang masing masing konsep tersebut memiliki korelasi yang signifikan dengan makna dan ide yang terkandung didalamnya. Yang paling dasar adalah kewajiban agama, dimana jumlah ayatnya paling banyak. Diatasnya ada ayat-ayat tentang moralitas agama, dan yang paling sedikit adalah ayat-ayat tentang keadilan sosial.

Muhammadiyah dan gerakan Filantropinya sejak berdiri hingga memasuki abad ke 2 tidak meninggalkan spirit kemanfaatan jariyah hal ini terbukti di awal berdirinya Muhammadiyah, founding fathers K.H. Ahmad Dahlan dengan gagasan sosial melihat realitas kauman berujung kepekaaan sosial (keshalihan sosial) hingga terbentuklah Muhammadiyah salah satunya salah satu lembaga yang memiliki peran penting dalm membentuk citra Muhammadiyah sebagai gerakan sosial adalah PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem). PKO hanyalah sebuah unit kegiatan kesehatan poliklinik untuk masyarakat. Unit ini didirikan untuk memberikan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan kepada kaum dhuafa disekitar kota Yogyakarta. Dan berbagai upaya Filantropi lainnya baik berupa panti asuhan dan sebagainya. Abad ke-2 Muhammadiyah dengan lantang menyuarakan bakti untuk negeri “Ta’awun Untuk Negeri” sebagai upaya praksis Filantropi sebagai Gerakan Reflektif melalui MDMC, LAZISMU, MPM. Menjadi peranan penting mengarungi abad ke-2 Muhammadiyah.

Filantropi sebagai wujud Gerakan Reflektif, tentunya upaya – upaya Filantropi yang terus berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dengan tujuan terciptanya keberfungsian social tidak hanya sebatas ritual mengatas namakan Filantropi yang sejatinya hanya sebuah eksistensi gerakan social tanpa ada upaya pendampingan dan pemberdayaan. Akhirnya upaya Filantropi akan mampu menjadi Gerakan Reflektif ketika Filantropi berorientasi kepada keberfungsian sosial masyarakat yang berkeadaban tentunya melalui perubahan institusional yang sistematik.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *