Oleh: Dahlan Ramli
Pada umumnya, ketika seseorang bersedekah atau berinfak, selain dikaitkan dengan keinginan untuk mendapatkan balasan dan yang menerimanya. Hal ini terjadi sejak zaman Nabi saw, sebagainana dalam sebuah riwayat dikatakan, bahwa ada sekelompok sahabat Nabi saw yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan beberapa kelompok Yahudi. Mereka enggan memberi bantuan kepada orang-orang yang belum beragama Islam, dengan harapan kesulitan yang mereka hadapi itu dapat mengantar mereka untuk mau dan berani meminta kepada kaum “aghniya” dari kalangan kaum Muslimin. Pada gilirannya nanti mereka terpaksa meminta bantuan dan mau memeluk agama Islam. Sikap yang demikian ini tidak dibenarkan oleh Allah SwT (Al-Baqarah [2]: 272).
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya.”
Ayat ini diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai teguran dan pelurusan atas sikap memilah-milah orang ketika bersedekah. Kalau demikian, dapat kita pahami bahwa bersedekah atau berinfak itu tidak boleh dikaitkan dengan tujuan untuk memikat, membujuk, menggiring atau memaksa supaya si penerima sedekah itu memeluk agama Islam. Begitu juga, apabila seseorang bersedekah karena mengharap balasan dari yang menerima, apapun bentuknya.
Perbedaan agama dan status sosial apa pun, jangan dijadikan sebagai penghalang bersedekah, berinfak atau memberi bantuan lainnya. Dalam Hadits lain diriwayatkan tentang seseorang yang bersedekah kepada orang-orang yang dipandang oleh umumnya manusia tidak pantas diberi. Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: Ada seseorang berkata, “aku hendak bersedekah malam ini”. Lalu dia keluar membawa sedekahnya dan disedekahkannya kepada perempuan lacur (pezina). Pada pagi harinya banyak orang menggunjingkan bahwa tadi malam ada para pezina yang diberi sedekah oleh seseorang. Orang yang bersedekah itu berkata: “Ya Allah, segala puji bagi-Mu yang telah mentakdirkan sedekahku jatuh kepada pezina, dan aku akan bersedekah lagi”.
Dia pergi dengan membawa sedekahnya, lalu diberikannya kepada orang-orang kaya. Pada pagi harinya banyak orang menggunjingkan lagi, bahwa semalam ada orang bersedekah kepada orang kaya (aghniya). Lain orang yang bersedekah itu berkata; “Ya Allah, untuk-Mu-lah segala puji, karena Engkau telah manjadikan sedekahku jatuh kepada orang kaya, dan aku akan bersedekah lagi”.
Dia pergi lagi dengan membawa sedekahnya, lain diberikannya kepada si pencuri (saariq). Pada pagi harinya banyak orang menggunjingkan lagi bahwa tadi malam ada yang memberi sedekah kepada pencuri. Orang yang bersedekeh itu berkata; “Segala puji bagi Allah yang telah mentakdirkan sedekahku jatuh kepada para pelacur, orang-orang kaya, dan para pencuri”.
Maka diutuslah Malaikat untuk menemui orang yang bersedekah itu, seraya berkata kepadanya: “Sedekah anda sudah diterima oleh masing-masing orang yang anda beri sedekah. Adapun perempuan pezina, semoga dia berhenti dari perbuatan zina-nya; kepada orang kaya, semoga dia menyadari dirinya dan menjadi mau bersedekah; dan untuk si pencuri, semoga dia berhenti mencuri”. (Lafadl Hadits ini bagi Muslim).
Dari Hadits tersebut mengandung beberapa pelajaran yang sangat berbarga bagi kaum beriman, di antaranya adalah:
Pertama; pada umumnya orang-orang berpandangan bahwa bersedekah kepada pezina, orang kaya dan pencuri atau kepada yang berbeda agama (non muslim) itu dipandang sebagai perbuatan jelek yang sia-sia dan tidak akan mendapat pahala. Atau
bahkan berdosa, karena yang demikian itu terkesan mendukung perbuatan “ma’shiyat
(kedurhakaan), “fahsya” (kekejian) dan “munkar” (pengingkaran).
Kedua; bersedekah itu sangat erat kaitannya dengan niat dan motivasi, tujuannya dan doa, serta keikhlasan, kebersihan, kemurnian dan kebeningan hati. Semua itu dapat mengundang dukungan para Malaikat dengan do’anya yang dipanjatkan kepada Allah SwT, sehingga sangat mungkin Dia menerima dan memberi pabala atas sedekah itu serta mengabulkan doa para Malaikat itu.
Ketiga; niat dan keikhalasan, adalah sikap atau pekerjaan hati yang sangat dalam dan sangat tersembunyi (batin). Siapapun tidak akan dapat mengetahui apa yang terkandung di dalam hati seseorang. Yang dapat mengetahuinya hanyalah Allah SwT, Malaikat dan mungkin dirinya sendiri. Maka ketika seseorang bersedekah, kita atau siapapun tidak boleh mempertanyakan tentang niatnya, dan tingkat keikhlasannya, karena yang demikian itu merupakan suatu sikap hati yang sangat rabasia.
Keempat; seperti telah kita maklumi bersama, bahwa jangankan kita, para Rasul pun sungguh kesulitan menyadarkan para pelaku kedurhakaan, kema’siyatan dan kemunkaran itu. Termasuk persoalan meninggalkan agama terdahulu dan memeluk agama Islam. Namun, bagi Allah SwT tidak ada satupun yang sulit, apabila Dia telah menghendaki sesuatu itu terjadi maka terjadilah. Oleh karena ita, kita tidak boleh memaksa orang lain untuk memihak kita dengan cara memboikot sedekah. Kita hanya ditugaskan mengingatkan mereka. Para Nabi dan juga yang lainnya hanya berkewajiban menyampaikan petunjuk baik secara lisan maupun dengan secara keteladanan hingga membuahkan pengetahuan.
Kelima; segala usaha dan amal perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, apabila disertai dengan niat yang ikhlas dan penuh ketulusan hanya mencari dan mengharap keridlaan Allah SwT (ibtighaa-a Wajhillaah), maka sungguh akan menumbuhkan keberkahan dan banyak manfaatnya. Keberkahan yang merupakan anugrah Allah tersebut, akan dapat dirasakan langsung oleh banyak orang baik mereka yang beragama Islam maupun non muslim.
Ayat dan riwayat di atas merupakan dasar untuk menyatakan kebolehan bersedekah kepada siapapun tanpa harus dibatasi oleh sekat-sekat pabedaan, termasuk perbedaan agama. Kalau kepada binatang saja Islam menganjurkan untuk berbuat baik, maka apakah kepada sesama manusia terlarang hanya disebabkan berbeda agama?
Hampir semua ulama bersepakat membolehkan berinfak dan bersedekah, kepada non muslim, tetapi yang berkaitan dengan zakat maal tidak semua ulama membolehkan diterima oleh non Muslim. Sebagian ulama bapendapat bahwa yang berhak menerima bagian (mustahiq) zakat maal itu khusus bagi orang-orang yang termasuk golongan delapan “asnaf”, sebagaimana pada ayat 60 surat ke-9 (At-Taubah). Selain pengkhususan tersebut, ayat ini juga dipahaminya sebagai pengkhususan bagi kaum muslimin saja dan bukan untuk non muslim. Sedangkan sebagian yang lainnya menyatakan bahwa non muslim pun berhak menerima bagian. Mereka memahami bahwa ayat tersebut berlaku untuk umum, tidak hanya untuk orang-orang Islam saja. Bahkan, salah satu yang berhak menerimanya adalah “mu’allaf”, yaitu orang kafir yang diharapkan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam tetapi imannya masih lemah. (Lihat catatan kaki nomor 647 Al Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama Rl).
Pendapat tersebut dikuatkan dengan Hadits riwayat Ahmad dari Sofwan bin Umayah, ia berkata. “Rasulullah saw memberiku suatu pemberian dalam peristiwa Hunain. Sesungguhnya beliau adalah manusia yang paling aku benci. Tapi beliau selalu memberiku suatu pemberian hingga beliau menjadi satu-satunya orang yang paling aku cintai”. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dan Imam At Tirmidzi.
Dengan demikian, janganlah kila beisedekah selam hanya mencari keridlaan Allah SwT, sebagaimana penggalan ayat di atas, “warmaa tunfiquuna illabtighaa-a wajhillaah” Keridlaan Allah, mengisyaratkan bahwa Allah SwT Maha Mencukupi segala kebutuhan umat-Nya, baik kebutuhan yang barsifat material maupun spiritual, lahiriyah maupun batiniyah, dunyawiyah maupun ukhurawiyah, termasuk memberi balasan pahala atas sedekah yang dilakukan hamba-Nya. Allah SwT rela memberi pahala yang berlipat ganda.
Bahkan, surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya, selama-lamanya. Allah ridla terhadap mereka dan mereka pun ridla kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. Inilah kenikmatan hakiki, yakni bertemu dengan “Wajah Allah”.
sc: suara muhammadiyah